Singkat Sejarah Imam Bukhari
Kelahiran
dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara,
Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al
Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir
pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).
Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster.
Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan
Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan
keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat
karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya
tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan
beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10
tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para
ahli
hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab
fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi.
Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin
kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua
ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu
memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah,
Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan
filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan
ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan
lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut
telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut
Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya
“Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih
berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor
lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam
kitab
As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang
wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat
syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya
haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan
mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat
ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah
tumbuh
sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan
menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru
kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada
usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan
Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para
guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab
pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa
Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits
shahih
dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh
80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru
beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali
bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al
Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan
Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip
dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh
kakaknya
Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda
dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan
Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan
kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun
Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap
celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka,
kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan
selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua,
lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap
dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi
oleh 10
orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam
pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja
“diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata
hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat
masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya,
kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits
yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan
penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya.
Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu
menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari
ternyata
tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering
belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya,
sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali.
Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan
menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat
perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat
Tabi’ien”
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini
ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22
tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama
dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis
kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata,
“Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu
malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’
ash
Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At
Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al
‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami
As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling
monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan
nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku
bermimpi
melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil
memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan
mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan
menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits
Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut,
Imam
Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang
menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan
para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang
diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang
diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang
menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan
penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari
perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000
hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya
adalah
Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim
bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan
: “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku
tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk
Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan
kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua
atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli
(guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan
Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut
menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari
menghabiskan
waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para
perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara
kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah,
Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari
sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali.
Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan,
melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat,
diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan
apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah
(kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang
dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para
perawi
tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan
kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang
sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para
ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara
kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya
diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan
kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan
hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh
perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari
banyak
mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk
mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek
keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi
meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad,
Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah
mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah
empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung
berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama
ahli hadits.”
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits,
ia juga
dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan
kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir,
bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah
kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam
Bukhari
dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak
hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti
tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat
sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang
ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga
mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah
(Imam
Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan
beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu
saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan
bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan
hadits
shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer
dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab
ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad
saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari
lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah
beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan
yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi
inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami
‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat
berhati-hati.
Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari
berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram,
Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah
shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan
sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil
Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di
Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di
Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah
hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan
kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun
selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan
cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki
kredibilitas
para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan
hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu
dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut
pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab
hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring
bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam
kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun
kitab
Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat
keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut,
kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari
sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih
Bukhari itu
memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara
berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan.
Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam
kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata
pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan
atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat
dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara
berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada
kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada
159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat
berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli
hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata
karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar
menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata:
“Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan
pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari
orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang
berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya,
Az-Zihli
kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa
lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia
tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan
barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah
adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan
kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan
kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an,
makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau
menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an
adalah
kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk
dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari
ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah
pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil
kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman
adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang
paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang
pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat
kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa
menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia
adalah pendusta.”
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam
Bukhari.
Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun
pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di
Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum
Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa
familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan
Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul
Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas
Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia
berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai
kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan
dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa
meninggalkan seorang anakpun.
Sejarah Singkat Imam Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim
terhadap ilmu hadits memang luar
biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits.
Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang
dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa
ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun,
Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu
Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi
SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim
pun tak segan-segan bertanya
kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi
aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang
benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir
dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak
bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada
mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak
bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu
‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan
Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur
dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan
Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki
arti tersendiri. Di kota inilah
beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli
hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H.
Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya
untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam
Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang
dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan
antara Bukhari dan Az Zihli,
beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab
terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih
menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam
hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya
maupun kitab-kitab lainnya tidak
memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau
adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari.
Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan
ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya
itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai
gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat
tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu
telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib,
guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang
tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030
hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya,
berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama
besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut
berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan.
Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan
disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk
menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15
tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits,
Imam Muslim menerapkan
prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan
untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan
sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani
(menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami),
akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada
kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua
terbaik dalam masalah ilmu hadits
(sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia
ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang;
salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu
Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits
terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti
gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam,
khususnya dalam bidang ilmu hadits,
nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama
Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena
prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa
sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits
shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi
akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga,
al-Musnad ash-Shahih, atau
al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih
Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di
Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi
para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian
hadits merupakan kekuatan
tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam
pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya,
dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika
menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual
lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke
wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan
bersama gurunya al-Bukhari. Kepada
guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan
aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya,
ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang
dikenal sebagai tokoh yang sangat
ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam
Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya —
sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari
Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim
adalah tsaqqat, agung
derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula,
ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama
sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan
kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang
cukup penting dan banyak.
Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding
kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki
karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian
pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul
setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih
diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam
metode penyusunan kitab
hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits,
namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan
setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur
sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu
hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi
sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya
itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat
dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai
kalangan muhaditsun berada
setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai
bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim
dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah
seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah
catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian
mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena
Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya
berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang
diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa
sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad
Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim
memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada
sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau
mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad,
jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan
Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan
oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam
bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil
keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang
tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam
dunia hadits memiliki kesetaraan
dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki
keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan
gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat
mana yang lebih unggul antara
Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat,
Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang
lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya
perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada
sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan
isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas
kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih
Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya
dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits
Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara
Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi
tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang
diterima para perawi tsaqqat
derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga
mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif.
Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding
Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim
lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada
keunggulan Shahih Muslim
beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih
berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya
di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan
guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul
bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits
Bukhari lebih shahih ketimbang
hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits
riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits
dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun
karya-karyanya, antara lain seperti:
1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa
bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8.) At-Tamyiz, 9)
Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh
Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16)
Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19)
Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah
dicetak, sementara nomor 1, 11,
dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental
adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul,
Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil
‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada
tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga
Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta
menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.
Sejarah Singkat Imam Tirmizi
Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam
Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya.
Karyanya, Kitab Al Jami’, atau biasa dikenal dengan kitab Jami’
Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan
ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di
bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu’
dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi.
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, dan lainnya.
read more
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, dan lainnya.
read more
Sejarah Singkat Imam Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H
atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin
al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur,
yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu
termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya
daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia
Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan
dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad
di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam
Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan
Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
read more
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
read more
Sejarah Singkat Imam Hanbali
Nasab dan Kelahirannya
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
read more
Sejarah Singkat Imam Hanbali
“Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai
selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung
petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak
doktrin resmi Mu’tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan
kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa.”
Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi’i, yang tak lain adalah guru
Imam Hanbali. Menurut Syafi’i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang
tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara
hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
read more
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
read more
Sejarah Singkat Imam Syafi’i
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.read more
Sejarah Singkat Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy
merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum
muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari
kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki
madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam
Hanafi.
read more
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
read more
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.read more
Sejarah Singkat Imam Malik
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah
Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti
ceramah al muwatta’ (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk
hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik
memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ”Rasyid, leluhur Anda selalu
melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai
khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat
lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari
manusia.”
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
read more
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
read more
Sejarah Singkat Imam Bukhari
Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
read more
No comments:
Post a Comment